Minggu, 14 September 2008

Bedah Buku ”Densus-88 Undercover”


Pada penghujung tahun 2007, Senin (31/12), Eksekutif Mahasiswa Universitas Brawijaya menggelar bedah buku “Densus 88 Undercover” di Gedung PPI. Penulis buku itu, M Ikhlas Thamrin SH, hadir sebagai pembicara. Selain dia, juga hadir Ustad Abu Bakar Ba’asyir (Amir Majelis Mujahidin Indonesia dan Pimpinan Ponpes Ngruki, Surakarta), dan Prija Djatmika SH MS (dosen Fakultas Hukum Unibraw). Sayang, Kapolda Jawa Timur Irjen Pol Drs Herman S, yang juga diundang, ternyata tidak dapat hadir karena kesibukan tugas-tugasnya. Dalam paparannya, M Ikhlas Thamrin selaku penulis mengungkapkan latar belakang ia menulis tema tersebut serta hal-hal yang membuatnya tertarik dalam menguak di balik pembentukan Densus 88. Pengertian Densus (Detasemen Khusus) 88 adalah suatu unit antiteroris di bawah Kepolisian Republik Indonesia (Polri) yang memiliki tugas mengatasi gangguan teroris terkait dengan ancaman bom hingga penyanderaan dengan berkekuatan sekitar 400 personil. Dalam hal mengantisipasi gerakan terorisme inilah, orang-orang yang tergabung dalam Densus 88 bersifat rahasia, pilihan, dan menyebar di seluruh wilayah nusantara. Disampaikan lebih lanjut, alasan pemberian angka 88 ini dilatar belakangi oleh jumlah korban warga Australia yang tewas sewaktu Bom Bali (sebanyak 88 orang) serta simbol dari bentuk borgol yang tidak terputus dan terus menyambung, akan selalu ditegakkan pengusutan kasus terkait terorisme. Peraih Munir Award 2006 itu, menitikberatkan pembahasan pada tiga hal. Pertama, kinerja Densus 88 dalam menangkap tersangka teroris mengarah pada pelanggaran HAM, khususnya hak bebas dari keluarga yakni setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan merendahkan derajat martabat manusia. Kedua, upaya Densus 88 untuk merehabilitasi tersangka teroris (jika tidak bersalah) hingga saat ini belum ditemukan. Ketiga, korelasi antara kinerja Densus 88 dalam menangkap tersangka teroris dengan perkembangan HAM di Indonesia berbanding terbalik. Indikatornya, kineja Densus 88 tidak profesional dan tidak adanya upaya untuk merehabilitasi tersangka teroris yang tidak terbukti justru tidak menghormati HAM sehingga menghambat atau berdampak negatif pada perkembangan HAM di Indonesia. Dalam bukunya, juga dipaparkan tentang awal mula pembentukan Densus 88 yang disokong sepenuhnya oleh Amerika Serikat. Menurut laporan LSM Foreign Policy Infocus bertajuk ”Fighting Terorism, Undermining Democracy in Indonesia”, hingga saat ini pihak Amerika Serikat sudah menggelontorkan dana sekitar $76 juta (hampir Rp 760 miliar) untuk mendukung pendanaan, pelatihan, serta penyediaan peralatan Densus 88 ini. Oleh sebab itu, perlu dicurigai detasemen khusus ini akan menjadi kepanjangan tangan dari pihak Amerika Serikat. Pada beberapa bagian yang lain juga diulas tentang cuplikan berita yang diambil dari media tentang penangkapan teroris, bagaimana sepak terjang Densus 88, serta perlakuan yang diterima teroris serta keluarganya. Ustad Abu Bakar Ba’asyir yang tampil sebagai narasumber juga menyatakan tidak percaya terhadap kinerja Densus 88, yang dinilainya hanya sebagai alat Amerika Serikat oleh Yahudi semata. ”Saya percaya isu terorisme yang disebarkan Amerika Serikat itu hanya propaganda untuk menanamkan suatu persepsi bahwa Islam itu jahat", ujarnya berapi-api. Pembentukan Densus 88 yang disokong sepenuhnya oleh Amerika Serikat membuktikan kenyataan tersebut. Masyarakat banyak yang termakan dan percaya oleh isu yang diberikan. Hal ini juga terjadi oleh stigmatisasi, labelisasi, dan kecenderungan stereotype yang diberikan kepada pria berwajah ke-Arab-arab-an sebagai pelaku terorisme. Mereka yang berpenampilan seperti itu dicurigai sebagai penyebar tindak kejahatan. Padahal semua itu bohong belaka. Bentuk kecurigaan yang tidak beralasan seperti ini, mematikan asas praduga tak bersalah dan meruapakan pelanggaran HAM. Imam Majelis Mujahidin, yang mendapatkan sambutan meriah dari hadirin, ini juga memberikan beberapa contoh betapa Indonesia sebenarnya masih menghamba kepada Amerika Serikat. Hal ini terbukti pada tahun 2003, Menko Polkam waktu itu, Yudhoyono melaporkan kepada Amerika Serikat tentang keberhasilan Indonesia menangkap pelaku terorisme. Padahal hal tersebut urusan dalam negeri sendiri yang tidak perlu dicampuri oleh intervensi pihak asing. Kasus Hambali yang tertangkap CIA di Ayutthya, Thailand pada 11 Agustus 2003 silam, kembali menegaskan hal tersebut. Hingga kini, pemerintah Indonesia tidak memiliki akses dalam mengurus kasus tersebut. Selain itu, hal yang disorot lainnya adalah pembedaan dalam penanganan kasus dengan latar belakang agama. Kasus terorisme yang melibatkan Islam dinilainya cenderung cepat diungkap. Berbeda halnya dengan kasus dengan latar belakang agama lainnya, seperti Tibo cs maupun pengibaran bendera RMS di hadapan Presiden SBY sewaktu Hari Keluarga Nasional beberapa waktu silam. Hingga kini masih adem-ayem saja. Sementara itu Prija Djatmika SH MS lebih menyoroti aspek legalitas hukum yang dinilainya masih lemah terkait tindakan terorisme. UU No 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Terorisme sendiri juga masih belum banyak berbicara. Beberapa peserta acara banyak bertanya terkait hal ini. Mulai dari kedudukan Densus 88, teori konspirasi yang banyak bermunculan pasca 11 September, aspek legalitas hukum, serta fase-fase dalam kehidupan umat Islam. Seluruh narasumber tampak antusias menjawab berbagai pertanyaan tersebut. [